Rabu, 01 Juli 2009

Episode Tukang Becak

Episode Tukang Becak
Maghrib menjelang, tanah bersenda gurau dengan kecipak air hujan. Rinai yang membesar sesekali menyentuh ujung bajuku bersama angin. Kecipak air ternyata tak mampu mengalahkan kecipak hatiku berhadapan dengan kehidupan. Aku terus berpikir tentang asa dan kehidupan sambil sesekali berloncatan menghindari air di jalanan. Sampai di sebuah gang, beberapa meter dari tempat tinggalku, aku tertegun. Aku melihat seorang bapak tukang becak sedang duduk meringkukkan badannya untuk melawan dingin di dalam becaknya. Sungguh, aku malu…sangat malu ketika melihat itu semua. Seorang bapak yang bergelut dengan kesusahan mencari penghidupan, hari hujan, tak ada orang yang berkeliaran di luar rumah. Dia harus membawa sesuatu untuk keluarganya yang entah berjumlah berapa. Berapa penghasilan bapak itu? Apakah akan masih ada tambahan uang yang didapatnya?.

Tak pantas rasanya, jika aku masih ‘mengeluh’ dengan penghasilan yang aku terima setiap bulan. Aku yakin, penghasilanku jauh lebih besar dari bapak itu. Memenuhi ruang hati dengan kesyukuran atas hidup yang kita jalani dan hari-hari yang kita lalui sudah menjadi keniscayaan sebagai bentuk kesyukuran yang mendalam pada pemilik hidup.

Apalagi saat ingat kalau nikmat itu tak hanya berupa uang. Kemudahan,ketenangan, kebahagiaan, keluarga yang hangat, sahabat yang mengajak ke kebaikan, semuanya adalah nikmat yang bahkan tak bisa dibeli dengan tumpukan uang.
Betul ga?

_tahun lalu_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar